Sunday, 24 February 2013

EFEKTIFITAS KELOMPOKTANI


Peter (Soewartoyo dan Lumbatoruan, 1992) mendefinisikan efektif sebagai menjalankan pekerjaan dengan benar (to do the right things) berbeda dengan efisien yang diartikan sebagai menjalankan pekerjaan dengan baik (to do the things right). Efektifitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan, jika hasil kegiatan makin mendekati sasaran berarti makin tinggi efektifitasnya.
Sebuah kelompok tani dinilai efektif, bila kelompok itu memiliki karakteristik berikut :
a Memahami dengan jelas tujuan sasarannya.
b Mampu menetapkan prosedur secara luwes demi tercapainya sasaran bersama.
c Komunikasi lancar serta adanya pengertian di antara anggotanya.
d Tegas dalam pengambilan keputusan dengan melibatkan seluruh anggota.
e Keseimbangan produktivitas kelompok dan kepuasan individu terjaga.
f Tanggung jawab kepemimpinan dipikul bersama, sehingga semua anggota terlibat dalam menyumbangkan ide dan pendapat.
g Rasa kebersamaan.
h Mampu mengatasi perbedaan pendapat di antara anggota.
i Tidak ada dominasi baik oleh pemimpin maupun anggota kelompok.
j Keseimbangan antara perilaku emosi dan perilaku rasional dalam setiap usaha pemecahan masalah (Soewartoyo dan Lumbantoruan, 1992).
Mardikanto (1993) mengemukakan keefektifan kelompok sebagai keberhasilan kelompok untuk mencapai tujuannya, yang dapat dilihat pada tercapainya keadaan atau perubahan-perubahan (fisik maupun non fisik).
Gibson et all (1995) menilai efektifitas kelompok menjadi dua pendekatan yaitu pendekatan sistem dan pendekatan tujuan. Teori pendekatan sistem menekankan pentingnya adaptasi terhadap tuntutan ekstern sebagai kriteria penilaian keefektifan kelompok. Teori sistem menerangkan pembahasan pengembangan kelompok secara intern dan ekstern. Secara intern melihat bagaimana dan mengapa orang di dalam organisasi melaksanakan tugas individual dan kelompok, sedangkan ekstern menghubungkan transaksi organisasi tersebut dengan organisasi atau lembaga lain. Setiap organisasi membutuhkan sumber daya dari lingkungan luar dimana organisasi tersebut menjadi bagiannya dan pada gilirannya menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan lingkungan yang lebih luas. Sedangkan pendekatan tujuan menekankan seberapa jauh tujuan kelompok yang ditetapkan telah tercapai sebagai penilaian keefektifan kelompok.
Berdasarkan kumpulan teori yang didapat, efektifitas kelompok tani dipengaruhi oleh unsur-unsur berikut ini :
a. Gaya kepemimpinan
Giedler (Mardikanto, 1996) mengartikan gaya kepemimpinan sebagai gaya yang diterapkan oleh seorang pimpinan pada situasi tertentu, demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Gaya kepemimpinan ini merujuk pada bagaimana pimpinan memotivasi orang lain pada situasi yang berbeda-beda, agar tujuan yang telah direncanakan itu dapat tercapai. Karena itu, seorang pemimpin dapat menerapkan gaya kepemimpinan yang berbeda-beda terhadap setiap orang atau pada kondisi yang berbeda.
Ukuran yang paling banyak digunakan untuk mengukur efektifitas kepemimpinan adalah seberapa jauh unit organisasi pemimpin tersebut menunaikan tugas pencapaian sasarannya. Sikap para pengikut terhadap para pemimpinnya adalah indikator umum lainnya dari pemimpin yang efektif. Efektifitas pemimpin kadang-kadang diukur berdasarkan kontribusi pemimpin pada kualitas proses kelompok yang dirasakan oleh para pengikut atau pengamat dari luar. Apakah pemimpin mampu meningkatkan kohesivitas anggota kelompok, kerjasama anggota, motivasi anggota, penyelesaian masalah, pengambilan keputusan dan mendamaikan konflik antar anggota (Yukl, 2005).
Sehubungan dengan gaya kepemimpinan, telah dikenal secara luas adanya tiga macam gaya kepemimpinan yaitu :
1). Demokratis, adalah gaya kepemimpinan yang mengarah kepada pengambilan keputusan sebagai keputusan bersama dari seluruh anggota sistem yang bersangkutan.
2). Otokrasi, adalah gaya kepemimpinan yang mengarah kepada pengambilan keputusan tergantung kepada pimpinannya sendiri.
3). Laissez faire, adalah gaya kepemimpinan yang menyerahkan pengambilan keputusan kepada masing-masing anggota sistem sosial itu sendiri (Mardikanto, 1996).
b. Distributive leadership (kepemimpinan bergilir)
Kepemimpinan yang bergilir ini berarti adanya pemindahan kekuasaan untuk pengendalian dan pengawasan terhadap kelompoknya. Dengan demikian tiap anggota yang diberi kekuasaan akan dapat mengetahui kemampuan mereka masing-masing dan lebih dari itu akan menanamkan rasa tanggung jawab yang besar terhadap kelompok secara keseluruhan baik pada saat menjadi pimpinan maupun sebagai anggota (Santosa, 1992).
Suatu kelompok agar mampu meningkatkan efektifitas , pemimpin formal hendaknya memberikan kesempatan kepada semua anggota kelompok untuk saling memberikan bantuannya. Dengan kata lain, kerjasama dan koordinasi di antara para anggota kelompok termasuk bertindak untuk memimpin dapat dilaksanakan dengan baik oleh para anggota. Oleh karena itu, pemimpin formal hendaknya memberikan kesempatan terlaksananya saling kerjasama dan koordinasi di antara mereka. Tidak jarang dijumpai dari kesempatan ini akan muncul potensi-potensi kepemimpinan yang sangat bermanfaat untuk kelangsungan organisasinya (Thoha, 1993).
Dengan kepemimpinan yang bergilir, kepercayaan akan kemampuan pada diri sendiri dan kepada kemampuan anggota lain makin bertambah, karena masing-masing sudah saling mengenal dalam tugas kewajibannya yang serupa yaitu dalam memimpin. Kepercayaan akan kemampuan diri dan anggota lainnya merupakan suatu ciri yang khas dari kelompok yang melaksanakan tugasnya dengan berhasil baik (Gerungan, 2002).
c. Sense of belonging (Rasa memiliki)
Kesadaran anggota mengacu pada partisipasi anggota yang berkaitan dengan loyalitas anggota. Semakin anggota berpartisipasi, semakin tinggi kecenderungan mereka menunjukkan loyalitasnya. Pada gilirannya, akan menghasilkan kohesi kelompok, yang mengakibatkan anggota tetap setia tinggal sebagai anggota organisasi. Selain itu, partisipasi juga meningkatkan perasaan ikut memiliki (sense of belonging-rumongso melu handarbeni-Jawa), yang menghasilkan suatu we-felling atau identitas dengan organisasi (Slamet, 1993).
Pengaruh kehidupan kelompok yang makin kokoh terhadap kehidupan individu anggotanya ialah timbulnya sense of belongingness, yang ternyata mempunyai arti cukup mendalam pada kehidupan individu anggotanya. Sense of belongingness merupakan sikap peranan bahwa ia termasuk di dalam suatu kelompok sosial dan di dalamnya ia mempunyai peranan dan tugas sehingga merasakan semacam kepuasan dirinya, bahwa ia berharga sebagai anggota kelompok tersebut. kepuasannya ialah bahwa ia sebagai makluk sosial di dalam kelompoknya telah memperoleh peranan sosial yang juga berdasarkan usahanya untuk menyumbangkan sesuatu demi kemajuan kelompok (Gerungan, 2002).
d. Tujuan kelompok
Tiap kelompok pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai. Tujuan tersebut merupakan tujuan bersama, yang menjadi arah kegiatan bersama, karena tujuan ini merupakan integrasi dari tujuan individu masing-masing. Kelompok yang baik seringkali mengadakan penilaian secara kontinu terhadap perencanaan kegiatan, dan pengawasan kelompok, sehingga dapat diketahui tercapai atau tidaknya tujuan kelompok. Selain itu dapat diketahui semua motivasi dan hambatan yang dialami anggota dalam mencapai tujuan kelompok (Santosa, 1992).
Dengan adanya tujuan, akan menggerakkan semua anggota untuk selalu berperilaku/melaksanakan tindakan/kegiatan demi tercapainya tujuan yang diinginkan. Karena itu, harus diupayakan secara sederhana tetapi jelas agar setiap anggota memahami tujuan kelompoknya (Mardikanto, 1996).
e. Kepuasan anggota
Anggota-anggota dalam bekerjasama untuk mencapai tujuan yaitu melaksanakan tugas kelompok dan memelihara moral anggotanya. Tujuan pertama diketahui dari hasil kerja kelompok yang disebut dengan prestasi (performance) dan tujuan kedua diketahui dari tingkat kepuasan (satisfation). Jadi bila kelompok dimaksudkan untuk saling berbagi informasi (misalnya kelompok belajar) maka keefektifan dapat dilihat dari berupa banyaknya informasi yang diperoleh kelompok dan sejauh mana anggota dapat memuaskan kebutuhannya dalam kegiatan kelompok (Rakhmat, 2001).
Keinginan memuaskan kebutuhan dapat menjadi motivasi kuat yang menjurus pada pembentukan kelompok. Kebutuhan rasa aman, sosial, penghargaan dan perwujudan diri dari sebagian besar anggota sampai pada tingkat tertentu dapat dipenuhi dengan berafiliasi dalam kelompok (Gibson et all, 1995).
f. Kepuasan Stakesholders
Sebagai salah satu lembaga tingkat desa, kelompok tani tidak lepas dari hubungannya dengan instansi terkait seperti pemerintah desa, PPL, pengambil kebijakan, maupun masyarakat desa. Keterkaitan antara kelompok tani dengan instansi terwujud dalam :
1). Kaitan kelompok tani dengan pemerintah desa sebagai pemegang otorita tingkat desa.
Di dalam struktur organisasi pemerintahan desa, kelompok tani merupakan organisasi masyarakat yang berada di bawah pembinaan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), dan merupakan organisasi kemasyarakatan yang melaksanakan fungsi sebagai wadah partisipasi masyarakat desa yang mempunyai program untuk melaksanakan kegiatan di sektor pertanian (Saparin, dalam Mardikanto, 1996).
2). Kaitan kelompok tani dengan pemerintahan desa selaku pelaksana BIMAS di tingkat desa
Kaitan antara keduanya terbentuk dalam hubungan kelompok tani dengan Kepala Urusan Pembangunan yang bersifat koordinatif dalam rangka pengendalian kegiatan yang diperlukan demi tercapainya sasaran peningkatan produksi dan pendapatan masyarakat tani di desa yang bersangkutan (Mardikanto, 1996).
3). Kaitan dengan kelompok tani dengan organisasi penyuluhan
Di dalam struktur organisasi penyuluhan, kelompok tani memiliki hubungan fungsional dengan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Hubungan ini terlihat :
a) penyampaian kebikjasanaan pembangunan pertanian oleh PPL
b) penyampaian inovasi oleh PPL dan umpan balik dari kelompok tani
c) pemecahan masalah yang dihadapi kelompok tani
d) pembinaan PPL dalam perencanaan program kelompok tani
e) kerjasama PPL dan kelompok tani dalam pelaksanaan pengujian lokal, demontrasi, dan program penyuluhan pertanian.
g. Dampak yang dirasakan anggota
Sebuah kelompok, dalam kegiatannya untuk mencapai tujuan kelompok (tujuan bersama), terlibat di dalam aktivitas-aktivitas tersebut adalah individu selaku anggota kelompok yang memiliki fungsi tertentu yang ditegaskan dalam peran dan status yang dijabatnya. Tanpa status dan peran yang jelas, kegiatan kelompok tidak dapat berjalan semestinya dan jangkauan usaha mencapai tujuan kelompok kurang efektif, karena pembagian serta kemampuan yang dimiliki individu selaku anggota kelompok kurang didayagunakan. Peran dan status kelompok merupakan proses pembentukkan kelompok dan pengembangan kelompok sebagai unsur penggerak untuk aktualisasi kelompok (Yusuf, 1989).
Sebagaimana diketahui, perilaku yang diharapkan seorang anggota kelompok adalah suatu posisi yang memberikannya nilai tersendiri dalam pekerjaan kelompoknya. Melalui peran tersebut, suatu pelaksanaan tugas dapat dikerjakan dengan baik dan efektif untuk mencapai tujuan kelompok (Yusuf, 1989).
Anggota-anggota yang memiliki keterpaduan kelompok yang tinggi, ditunjukkan dengan semakin besarnya kekuatannya dalam aktivitas kelompok, yang terwujud dalam sedikit absennya pada setiap pertemuan kelompok, merasa senang jika kelompok berhasil dan merasa sedih jika kelompok gagal. Dan sebaliknya anggota kelompok yang memiliki kohesi kelompok rendah menunjukkan kerendahan keterikatannya dalam aktivitas kelompok (Yusuf, 1989).
h. Dampak bagi pengambil kebijakan
Mardikanto (1996) menyatakan bahwa di dalam proses perencanaan program, legitimasi diartikan sebagai proses pengesyahan atau suatu proses persetujuan atas ide-ide tentang perubahan yang diinginkan. Artinya ide-ide perubahan yang akan dilaksanakan, harus memperoleh pengesyahan terlebih dahulu dari pihak yang memiliki “kekuasaan” sebagai penentu kebijakan atas segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat.
Tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, menunjukkan adanya kepercayaan dan kesempatan yang diberikan “pemerintah” kepada masyarakatnya untuk terlibat secara aktif di dalam proses pembangunan. Artinya, tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat, memberikan indikasi adanya pengakuan (aparat) pemerintah bahwa masyarakat bukanlah sekedar obyek atau penikmat hasil pembangunan, melainkan subyek atau pelaku pembangunan yang memiliki kemauan dan kemampuan yang dapat diandalkan sejak perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan (Mardikanto, 2001).
i. Dampak bagi Masyarakat
Secara fungsional, setiap kelompok tani memiliki fungsi untuk melaksanakan kegiatan demi tercapainya sasaran peningkatan produksi pertanian, dan pendapatan petani serta kesejahteraan masyarakat tani sendiri maupun kesejahteraan masyarakat luas pada umumnya (terutama yang berkaitan dengan swasembada pangan), yaitu dalam bentuk terkendalinya kegiatan yang diperlukan untuk keberhasilan usahatani di lingkungan mereka (Mardikanto, 1996)

Sumber Pustaka :
Yusuf, Yusmar. 1989. Dinamika Kelompok : Kerangka studi dalam Perspektif Psikologi Sosial. CV Armico. Bandung.
Mardikanto, Totok. 1996. Penyuluhan Pembangunan Kehutanan. Pusat Penyuluhan Kehutanan Departemen Kehutanan Republik Indonesia bekerjasama dengan Fakultas Pertanian UNS. Jakarta.
Mardikanto, Totok. 2001. Perhutanan Sosial. Puspa. Sukoharjo.
Gerungan, W. A. 2002. Psikologi Sosial. Refika Aditama. Bandung
Gibson, J. L., J. M. Ivancevich dan J.H. Donnelly. 1995. Organisasi : Perilaku, Struktur dan Proses. Erlangga. Jakarta.
Santosa, Slamet. 1992. Dinamika Kelompok. Bumi Aksara. Jakarta.
Rakhmat, J. 2001. Psikologi Komunikasi. Remadja Karya. Bandung.
Slamet, Y. 1993. Pembangunan Masyarakat Berwawasan Partisipasi. UNS Press. Surakarta.
Thoha, Mitfah. 1993. Perilaku Organisasi : Konsep Dasar dan aplikasinya. Pt Grafindo Persada. Jakarta.
Soewartoyo dan Magdalena Lumbatoruan. 1992. Ensiklopedia Ekonomi, Bisnis, dan Manajemen Jilid I. PT Citra. Jakarta.
Yukl, Gary. 2005. Kepemimpinan dalam Organisasi. PT Indeks. Jakarta.

No comments:

Post a Comment