Saturday, 27 October 2012

KELOMPOKTANI SEBAGAI WADAH PARTISIPASI PETANI


Sektor pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan daerah Provinsi Jambi sehingga keberadaan petani sebagai bagian dari pelaku pembangunan menjadi sangat strategis. Upaya peningkatan kesejahteraan petani hanya dapat dilakukan apabila petani memiliki posisi tawar yang kuat dalam proses penetapan kebijakan pembangunan. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila petani mempunyai wadah kekuatan bersama yang mapan. Salah satu wadah yang dapat digunakan adalah kelompoktani. Kelompoktani hendaknya tidak saja difungsikan sebagai wadah kerjasama kegiatan usahatani tetapi sekaligus menjadi ajang latihan berorganisasi bagi petani agar dapat berperan lebih baik pada organisasi yang lebih besar. Dengan cara ini diharapkan kelompoktani menjadi salah satu kekuatan sosial dalam pembangunan pertanian. Keberadaan sebagian besar kelompoktani yang ada saat ini belum memperlihatkan wajah yang menggembirakan. Sejumlah kendala sosial budaya masyaraka serta kesalahan dalam pembinaan menjadi faktor penghambat tumbuh dan berkembangnya kelompoktani secara sehat. Oleh karena itu untuk lebih memfungsikan kelompoktani sebagai salah satu wadah partisipasi petani dalam proses pembangunan perlu diterapkan strategi penumbuhan dan pembinaan kelompoktani yang lebih mengandalkan prinsip-prinsip pemberdayaan dengan memperhatikan berbagai aspek budaya masyarakat.



Pendahuluan

Pertanian masih menjadi tulang punggung pembangunan daerah Provinsi Jambi. Hasil Sensus Pertanian tahun 2003 menunjukkan bahwa 64,4% dari seluruh tenaga kerja di wilayah ini menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Hanya saja masih terlihat adanya kepincangan dalam kesejahteraan karena jumlah tenaga kerja tersebut hanya menghasilkan 28,29% dari total PDRB (Anonim, 2005). Ini menunjukkan bahwa petani, terutama petani kecil, belum sepenuhnya menikmati hasil pembangunan, yang merupakan salah satu dari tiga kriteria partisipasi dalam pembangunan yaitu: menetapkan sasaran; pelaksanaan kegiatan; dan menikmati hasil pembangunan. Dari ketiga aspek ini, aspek pertama merupakan yang paling penting karena pada tahap ini beneficiary (kelompok sasaran) mendapat kesempatan untuk membuat pilihan terhadap program-program yang lebih berpihak kepada kepentingan mereka. Untuk memungkinkan partisipasi petani kecil dalam proses penetapan sasaran pembangunan perlu adanya wadah yang dapat meningkatkan posisi tawar (bargaining power) mereka. Hal ini tidak mungkin dilakukan secara individu tetapi harus melalui kekuatan bersama yang terorganisir secara baik.
Kelompoktani merupakan salah wadah ideal untuk menyatukan kekuatan bersama petani yang dapat digunakan untuk meningkatkan posisi tawar mereka. Penggunaan istilah kelompoktani sesungguhnya hanya sekedar untuk menggambarkan bahwa organisasi tersebut adalah milik petani. Dalam prakteknya organisasi ini dapat dengan nama apa saja tetapi prinsip penumbuhan dan pengembangannya mengikuti proses apa yang dilakukan pada kelompoktani. Hal itu yang akan diuraikan secara singkat pada bahasan berikut ini. Disamping itu pada bagian awal akan dijelaskan secara teoritis mengenai peran strategis kelompoktani dalam pembangunan.

Partisipasi dalam Pembangunan

Korten (1980) mendefinisikan pembangunan sebagai suatu proses dengan mana suatu kelompok masyarakat meningkatkan kemampuan diri dan kelembagaan mereka untuk menggerakan dan mengelola sumberdaya untuk menciptakan kemajuan yang merata dan berkelanjutan terhadap kualitas hidup sesuai aspirasi mereka sendiri. Menggerakkan kemajuan secara swadaya merupakan tujuan utama dari suatu kegiatan pembangunan (Gow dan Morss, 1988). Efektifitas suatu program pembangunan terlihat dari sejauhmana program tersebut dapat berkelanjutan. Tacconi dan Tisdell (1992) melihat keberlanjutan proyek sebagai kemampuan proyek dalam memberikan manfaat yang berkelanjutan kepada kelompok sasaran, baik selama pelaksanaan maupun purna proyek. Hal ini memerlukan perhatian menyeluruh yang mencakup faktor ekologi, budaya dan kelembagaan. Oleh karenanya untuk mendapatkan proyek yang berkelanjutan, bersamaan dengan pembangunan fisik dalam pelaksanaan proyek, maka diperlukan peningkatan kapasitas sosial masyarakat pada setiap tahapan pembangunan.
Belajar dari proyek pembangunan pedesaan di beberapa negara berkembang, Tacconi dan Tisdell (1992) mencatat bahwa pendekatan cetak biru, dimana proyek diarahkan hanya untuk mendorong peningkatan produksi melalui peningkatan bantuan dan pelayanan, cenderung menciptakan proyek yang diintroduksi oleh orang luar daripada mengakomodasi keiinginan masyarakat setempat. Dengan pendekatan ini keberlanjutan proyek akan sulit dicapai. Oleh karena itu para ahli sepakat bahwa partisipasi peserta proyek merupakan suatu kebutuhan dalam mencapai keberlanjutan suatu program pembangunan (AIDAB, 1991; Chamala, 1995; Gow dan Morss, 1988; Korten, 1980; Paul, 1989; Petch dan Pleasant, 1994).
PBB mengajukan suatu pendekatan untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan pembangunan dikenal dengan istilah popular participation, yang mengacu pada tiga aspek saling terkait: (i) persamaan kesempatan dalam menikmati hasil pembangunan; (ii) pemerataan kesempatan untuk ikut dalam kegiatan pembanguan; dan (iii) pemerataan keterlibatan dalam proses pengabilan kebijakan pembangunan. Yang perlu digarisbawahi bahwa partisipasi dalam perencanaan merupakan tahap yang paling penting karena hal ini memberi arti pada kegiatan yang lebih luas daripada hanya sekedar membuat pilihan dari program yang telah dipersiapkan oleh pemerintah. Proses perencanaan ini meliputi tiga tahap: (i) memilih alternatif yang disiapkan; (ii) menentukan cara yang terbaik untuk menerapkan keputusan yang telah ditetapkan; serta (iii) mengevaluasi tindak lanjut dari kegiatan yang telah dilaksanakan (the United Nations, 1981). Untuk itu jangan berharap petani dapat berpartisipasi dalam pembangunan apabila mereka tidak didorong untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan pembangunan yang menyangkut hajat hidup mereka.
Menumbuhkan keberanian masyarakat mengutarakan pendapat mereka merupakan kunci keberhasilan partisipasi dalam perencanaan. Oleh karena itu Rahman (1990) menyimpulkan bahwa pemberdayaan masyarakat untuk mampu menjelaskan dan mengutarakan arti pembangunan sosial bagi mereka sesungguhnya merupakan inti dari pembangunan sosial itu sendiri. Untuk melihat sejauh mana pemberdayaan itu dapat ditumbuhkan dapat dilihat dari tiga faktor: (1) Organisasi bagi anggota masyarakat, meliputi kemampuan mereka dalam mengelola organisasi dan menjalin kerjasama dengan organisasi lain; (2) Kewaspadaan sosial (social awardeness), yaitu pengertian masyarakat terhadap fungsi mereka dalam lingkungan sosialnya. Pengertian ini diperlukan untuk meningkatkan rasa kesetaraan antara kelompok masyarakat satu dengan yang lainnya; (3) Rasa percaya diri (self reliance), yaitu kombinasi dari kekuatan sosial dan mental yang muncul dari solidaritas, kebersamaan dan kerjasama untuk maju serta melawan dominasi pihak lain.
Banyak pakar yang berpendapat bahwa organisasi sosial yang dikontrol oleh masyarakat merupakan suatu dasar yang dibutuhkan dalam partisipasi yang efektif. Organisasi semacam ini sangat penting untuk memungkinkan masyarakat desa yang rentan dalam menyampaikan pendapat, memobilisasi sumberdaya dalam kegiatan swadaya serta menyalurkan aspirasi mereka dalam pengambil kebijakan politik dan ekonomi pada tingkat yang lebih tinggi (Korten, 1980). Untuk mengharapkan petani kecil berpartisipasi aktif dalam perencanaan merupakan hal yang tidak realistis. Di negara maju para petani telah mampu mengorganisasi diri sehingga dapat menjadi kelompok penekan (pressure group) dalam menyalurkan aspirasi mereka, tetapi di negara berkembang para petani tidak terorganisasi secara baik untuk tujuan semacam ini. Untuk itu maka keterlibatan dalam kelompoktani merupakan media belajar yang baik untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan (Adams, 1982).
Pranadji (2003 meyakini bahwa proses marjinalisasi (pemiskinan) petani Indonesia selama ini erat kaitannya dengan lemahnya pembinaan kelembagaan petani. Dikatakannya bahwa kerapuhan kelembagaan memiliki peran besar dalam mengganjal perkembangan perekonomian (pertanian dan) pedesaan. Jika sistem kelembagaan suatu masyarakat dibiarkan rapuh, maka program pengembangan teknologi, inovasi dan investasi apapun tidak akan mampu menjadi “mesin penggerak” kemajuan ekonomi yang tangguh. Kemudian ia juga menegaskan bahwa jika saja aspek kelembagaan ini sejak awal menjadi “penggerak utama” pembangunan pertanian dan pedesaan di negara kita maka tidak tertutup kemungkinan kemajuan bangsa Indonesia tidak akan kalah dengan Malaysia, Taiwan dan bahkan Jepang.

Peran Kelompoktani

Ketentuan mengenai kelompoktani secara garis besar telah diatur oleh Menteri Pertanian melalui Surat Keputusan nomor: 41/Kpts/ OT.210/1/92 tanggal 29 Januari 1992 tentang Pedoman Pembinaan Kelompoktani – Nelayan. Di dalam SK tersebut dicantumkan definisi Kelompoktani – nelayan adalah kumpulan petani nelayan yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumberdaya), keakraban dan keserasian, yang dipimpin oleh seorang ketua. Dijelaskan juga di dalam SK tersebut bahwa kelompoktani bersifat non-formal dalam arti tidak berbadan hukum tetapi mempunyai pembagian dan tanggung jawab atas dasar kesepakatan bersama baik tertulis ataupun tidak.
Kata “kelompok” pada kelompoktani mencermin penegasan bahwa wadah kerjasama ini lebih dekat kepada kelompok sosial daripada organisasi. Artinya kelompoktani lebih mementingkan aspek ikatan sosial antar anggotanya daripada struktur organisasinya. Tetapi pada kenyataannya pembinaan kelompoktani diarahkan untuk mengembangkan suatu organisasi yang mempunyai tujuan, struktur organisasi, pembagian tugas pengurus yang jelas serta kelengkapan administrasi yang baik. Oleh karena itu mengacu kepada Wursanto (2003), maka berdasarkan pembentukannya kelompoktani dikategorikan sebagai organisasi non-formal sedang ditinjuak dari tingkat keresmiannya kelompoktani tidak lagi dapat dikategorikan sebagai organisasi informal tetapi sudah mengarah kepada organisasi formal.
Secara garis besar peran kelompoktani adalah:
(a) Sebagai kelas belajar – mengajar. Kelompoktani merupakan wadah bagi anggotanya untuk berinteraksi guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam berusahatani – nelayan yang lebih baik dan menguntungkan, serta berperilaku lebih mandiri untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera.
(b) Sebagai unit produksi usahatani – nelayan. Kelompoktani merupakan satu kesatuan unit usahatani – nelayan untuk mewujudkan kerjasama dalam mencapai skala ekonomi yang lebih menguntungkan.
(c) Sebagai wahana kerjasama. Kelompoktani merupakan tempat untuk memperkuat kerjasama diantara sesama anggota dan antara kelompok dengan pihak lain.
Tidak banyak diketahui mengenai keadaan kelompoktani di Provinsi Jambi saat ini. Suatu penelitian pendahuluan mengenai kelompoktani di Provinsi Jambi dilakukan oleh Jamal (2004) dapat dijadikan salah satu gambaran. Dengan menggunakan tiga indikator kinerja kelompoktani yaitu pertemuan rutin, pengelolaan uang kas dan pergantian pengurus dari 2.326 kelompoktani yang diamati diperoleh 53,02 % kelompok tidak mempunyai kegiatan pertemuan rutin, 58,12% tidak mengelola uang kas, dan 61,99% tidak melakukan pergantian pengurus secara rutin. Dari angka ini dapat disimpulkan bahwa lebih dari separuh kelompoktani yang diamati sesungguhnya tidak berjalan secara aktif. Melihat kenyataan di lapangan dari kelompoktani yang selama ini sudah ada memang belum banyak dapat diharapkan untuk bisa berkembang dengan baik. Paling tidak ada empat faktor yang menjadi penghambat tumbuh dan berkembangnya kelompoktani secara benar:
(a) Selama pemerintahan Orde Baru organisasi yang berbasis masyarakat kurang diberi kebebasan untuk berkembang oleh pemerintah. Pembentukan organisasi kemasyarakatan terkesan harus dilakukan oleh pemerintah dan hanya diperbolehkan jika memenuhi kepentingan pemerintah. Dengan demikian masyarakat menjadi tidak terbiasa menumbuhkan sendiri organisasi yang mereka butuhkan sehingga sangat sedikit memiliki pengalaman berorganisasi.
(b) Pendidikan formal di negara kita kurang mengajarkan kepada muridnya untuk mampu berkomunikasi dengan baik. Seperti umumnya kita temui di sekolah-sekolah, murid dididik untuk selalu menerima dan tidak diberi cukup kesempatan untuk menyampaikan pendapat. Proses pendidikan seperti ini telah melahirkan generasi yang kurang mampu berkomunikasi dan menyampaikan pendapat secara baik. Kekurangmampuan dalam berkomunikasi ini menjadi faktor penghambat berkembangkan suatu organisasi karena komunikasi merupakan sarana utama tumbuhnya kebersamaan di dalam organisasi.
(c) Banyaknya ditemui penyimpangan yang dilakukan oleh oknum aparatur pemerintah selama ini, dengan membentuk berbagai kelompoktani tanpa memperhatikan hakikat keberadaan organisasi tersebut. Kelompoktani dibentuk hanya untuk kepentingan proyek dalam menyalurkan bantuan pemerintah. Karena pembentukan organisasi ini tidak melalui proses yang benar maka banyak diantaranya kemudian bubar, bahkan disalah gunakan oleh oknum tertentu. Pengalaman buruk seperti ini membuat masyarakat memiliki pemahaman yang salah terhadap keberadaan kelompoktani.
(d) Kuatnya budaya paternalistik (patuh kepada tetua dan tokoh masyarakat) di sebagain besar masyarakat Indonesia. Budaya ini cenderung akan melahirkan sikap ewuh pakewuh yang akan memberi peluang kepada kelompok elit untuk mengendalikan jalannya organisasi.
Dengan kondisi seperti yang dijelaskan diatas maka penumbuhan dan pengembangan kelompoktani memerlukan strategi serta sistem pembinaan yang lebih terencana dan terintegrasi. Pembinaan kelompoktani tidak bisa dilakukan hanya dengan mennggunakan kekuatan eksternal tetapi harus lahir dari kebutuhan bersama dan keswadayaan para anggotanya. Yang lebih penting lagi kegiatan kelompoktani harus betul-betul mencermin aspirasi anggotanya sehingga iklim demokrasi yang disertai ikatan kekeluargaan menjadi sangat penting.

Strategi Penumbuhan dan Pengembangan

Melihat pentingnya kelompoktani dalam pembangunan, khususnya pembangunan pedesaan dan pertanian, maka diperlukan upaya penumbuhan dan pengembangan kelompoktani secara terintegrasi dengan pembangunan pertanian. Dari sisi penumbuhannya, kelemahan paling mendasar dari kelompoktani yang ada saat ini umumnya dikarenakan penumbuhannya yang tidak mengikuti proses yang benar. Instansi pembina biasanya hanya ingin cepat-cepat ada kelompoktani begitu anggaran untuk bantuan kepada petani tersedia. Praktik semacam ini hendaknya diubah dengan cara menumbuhkan kelompoktani betul-betul secara alami yaitu dari kesadaran atas adanya kebutuhan bersama. Chamala dan Keith (1995) memperkirakan perlu waktu sekitar 6 bulan untuk memulai suatu kegiatan kelompoktani, yang diawali dari mencari dukungan dari anggota dan tokoh masyarakat sampai melakukan kegiatan awal yang dirancang secara bersama.
Kelompoktani dapat juga ditumbuhkan dari kelompok kerja yang ada di masyarakat. Di masyarakat pedesaan ditemui berbagai kelompok kerja yang dibentuk atas kebutuhan kerja bersama seperti untuk mengolah lahan, memanen padi dan penyediaan sarana produksi. Pada masyarakat pedesaan Jambi dikenal suatu kelompok kerja dengan istilah “pelarian”. Melalui kelompok kerja inilah kemudian dibangun kesepakatan yang selanjutnya dikukuhkan dengan suatu aturan yang lebih formal dalam kelompoktani.
Dari sisi pengembangannya, yang sangat perlu diperhatikan adalah pembinaan yang terus menerus terhadap manajemen kelompok. Belajar dari pengalaman mengevaluasi kegiatan kelompoktani di beberapa negara berkembang maka Oxby (1983) mencatat bahwa inisiatif pemerintah untuk membentuk suatu kelompok bukan merupakan masalah yang dapat menghambat keberlanjutan kelompok, asalkan kemudian diikuti dengan upaya pembinaan untuk menjadikan kelompok tersebut sepenuhnya mandiri dan didukung oleh para anggotanya. Selain itu kelompok cenderung lebih efektif dan berkelanjutan apabila memiliki hubungan melembaga dengan organisasi setempat sehingga kelompok diakui keberadaannya di tingkat lokal. Hubungan melembaga dapat antara kelompoktani dengan organisasi di luar kelompoktani seperti PKK, Pemerintahan Desa dan LSM. Sedangkan kerjasama melembaga antar kelompoktani diharapkan dapat melahirkan berbagai kegiatan gabungan kelompoktani seperti koperasi dan asosiasi kelompoktani. Melalui hubungan melembaga inilah kemudian kelompok dapat berkembang untuk berperan pada cakupan yang lebih luas, bahkan dapat menjadi bagian dari kekuatan politik petani.
Masalah komunikasi di dalam kelompok perlu menjadi perhatian utama karena hambatan sosial dalam berkomunikasi dapat menjadi kendala serius terhadap keberlangsungan kelompok. Hal ini tentunya tidak terlepas dari budaya paternalistis yang umum ditemui di sebagian besar masyarakat Indonesia. Untuk itu pembinaan yang mendorong anggota kelompok agar mampu berkomunikasi dengan baik menjadi kunci keberhasilan pembinaan manajemen kelompoktani. Pembinaan dapat dilakukan melalui pelatihan ataupun dengan membentuk kelompok yang lebih homogen. Kelompok yang homogen, dengan anggota yang merasa lebih setara, dapat mengurangi rasa ewuh pakewuh yang berpotensi menjadi penghalang jalannya komunikasi secara efektif.

Penutup

Demikianlah uraian singkat mengenai pentingnya kelompoktani serta upaya untuk memfungsikan kelompoktani sebagai salah satu instrumen kelembagaan petani dalam mendukung pembangunan daerah khususnya, serta pembangunan nasional umumnya. Uraian ini tentunya memerlukan tambahan masukan dari berbagai pihak agar dapat diimplementasikan menjadi suatu acuan kebijakan yang lebih operasional.
Daftar Pusataka

Adams, M.E. 1982. Agricultural Extension in Developing Countries. Intermediate Tropical Agricultural Series. Longman.
AIDAB. 1991. Social Analysis and Community Participation: Guideline and Activity Cycle Checklist. AIDAB.
Anonim, 2005. Rencana Pembanguan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi Jambi 2006 – 2010. Pemerintah Daerah Provinsi Jambi.
Chamala, S. 1995. Overview of participative action approaches in Australian land and water management. In: Chamal, S dan K. Keith (eds) Participative Approaches for Landcare. Australian Academic Press. Brisbane.
Chamala, s dan Keith, K. 1995. Participative Approaches for Landcare. Australian Academic Press. Brisbane.
Gow, D.D. dan E.R. Morss. 1988. The notoriuos nine: Critical problems in project implementation. World Development. Vol. 16(12): pp. 1399-1418.
Korten, D.C. 1980. Community organisation and rural development: a leraning process approach. Public Administration Review. Vol. 40(5): pp. 480-511.
Jamal, H. 2004. Studi Pendahuluan Kinerja Kelompotani di Provinsi Jambi. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan dan Tanaman Terpadu (PLTT) dan Hasil-hasil Penelitian/Pengkajian Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi tanggal 13-14 Desember 2004 di Jambi: pp. 314-318. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi.
Oxby, C. 1983. “Farmer groups” in Rural Areas of Third World. Community Development Journal. 18(1): 50-59.
Paul, S. 1989. Poverty alleviation and participation: the case for government-grassroots agency collaboration. Economic and Political Weekly. January 14: pp. 100-106.
Petch,B. Dan J. Mt. Pleasant. 1994. Farmer-controled diagnosis and experimentation for small rural development organisations. Journal for farming Systems Research-Extention. Vol. 4(2): pp. 71-81.
Pranadji, Tri. 2003. Menuju Transformasi Kelembagaan dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Deptan. Bogor.
Rahman, M.A. 1990. Qualitative dimensions of social development evaluation: tehmatic papaer in: Marsden, D. And P. Oaxley (eds.). Evaluating Social Development Projects. Oxfam. Oxford. Pp. 40-50.
Tacconi, L. Dan C. Tisdell. 1992. Rural Development Project in LDCs: appraisal, participation and sustainability. Public Administration and Development. Vol. 12: pp.267-178.
The United Nations. 1981. Popular Participation as A Strategy for Promoting Community-level Action and National Development . The United Nations. New York.
Wursanto, Ig, 2003. Dasar-dasar Ilmu Organisasi. Penerbit Andi. Yogyakarta

(Diterbitkan pada majalah “Jambi Prospektif” Edisi I nomor 9 tahun 2007)

No comments:

Post a Comment